Pages

Rabu, 16 Oktober 2013

Sebelum


Berceritalah angin kepadaku
berbisik, berlabuhlah lagi.

Bergetarlah suaramu pada ruang ini
Aku, mendengarmu

Bah, datang lagi sirkulasi ini
Bahkan terlalu dini

Dalam remang ini ku genggam suaramu
Ku jejalkan kedalam tanah
ku kubur hidup hidup sebelum rasa merajai
pilu


Selasa, 25 Juni 2013

Ada

Ada orang yang ga tau harga nya dimata orang lain. Ada.
Ada orang yang harus dikasih tau dulu baru ngerti. Ada.
Ada orang yang sekeras batu. Ada.
Ada orang yang sok berjiwa setiakawan tapi ga ngerti apa apa. Ada.
Ada orang yang ga bisa menghargai usaha orang lain. Ada
Ada orang yang ga usah berusaha mendekat ke orang lain tapi selalu didekatin. Ada
Ada orang yang ga dihargai tapi balik lagi. Ada
Ada orang yang ga dianggap tapi balik lagi. Ada
Ada. Ada. Ada.

Possibility

Ketika kabut membungkam dan udara begitu menusuk, aku terbungkus pagi. Pagi tak lagi sama. Membuatku meringkuk, memeluk bayang, berdegup senyap, irama lembut yang menghentak ... dengarkan ... rasakan ... jantung ini kian berdegup, berdetak membuncah. Aku bergetar, menjerit! Tapi, kabut ini begitu membungkam. Yang kurasakan hanyalah dingin, pandangan berbatas putih.

Hei kau, apa aku ini gila ? Karena tak ku tau lagi yang mana kanan dan kiri. Aku hilang, pagiku tak lagi bertuan. Dulu aku menganggap kabut ini bersahabat, tapi ternyata membutakan. Terlalu menipu, malah sekarang aku terjebak didalamnya. Coba bayangkan, mau kemana kau jika hanya putih yang terlihat ? Mungkin, aku harus memaki agar kabut ini segera hilang. Tapi percuma, dia tidak bergeming. Tinggal diam yang bisa ku lakukan. Aku hilang. Aku hilang pegangan. Aku menggeliat, menggapai-gapai kemungkinan. Hampir seperti orang buta. Aku meraba segala hampa, tidak satupun yang tergenggam ... Hei kau! Kau sudah tidak duduk lagi disampingku, pergi ? kemana ? Lantas tadi aku berbincang dengan siapa ? Apa suara ku hanya menggema ? Ah aku tau, memang sebenarnya kau tidak disana. Pantulan suara ku yang mencipta bayangmu. Seakan akan kau duduk disampingku. Tapi. Apa aku ini benar benar gila ?

Entah kali ini harus sehalus apa lagi aku mengirimkan pesan. Bahkan udara pun sudah jengah ku suruh untuk menyampaikan padamu. Aku meninggalkan remah remah kecil agar kau bisa mencariku. Jika remah remah itu adalah bagian tubuhku, maka sekarang aku sudah habis. Hanya berbekas jalan yang tak kau cari. 

Pagi masih bergelimang kabut. Tapi matahari mulai mendesak menerobos. Cahaya nya mulai memerangi dingin, perlahan aku mencair. Tak kurasakan lagi tubuh ini, aku menghilang jejak. Ketika itu kabut berlarian, tumpang tindih terbentur sesamanya. Kabut perlahan turun, menampakkan semua pandang. Dibangku itu aku mencair. Tersisa dua cangkir kopi dan aroma obrolan yang masih hangat. Tapi sayang, cuma sisa.

Rabu, 29 Mei 2013

Draft

Terkadang berbicara kepada tembok lebih menyenangkan. Dia diam mendengarkan, aku membutuhkan seseorang, seseuatu yang mendengarkan ceritaku sepenuhnya, tak perlu ada jawaban. Dan disinilah aku, duduk didpan tembok. Bercerita ngalor ngidul kemanapun arah pembicaraan yang aku suka. Mari ktia panggil dia Bok.

Aku ingin mengadu bok, aku kehilangan awan yang selama ini meneduhiku. Bahkan dia satu satunya awan yang menyebabkan aku terus berjalan, entah sekarang apa yang bisa ku jadikan pegangan. Dulu, aku mengira, aku bisa mengikuti awan kemanapun ia berlalu. Aku tertatih mengejar peneduhannya, aku hanya butuh teduhnya. Ketika awan diam tak bergerak, aku menemaninya hingga akhirnya berjalan lagi, ketika awan memecah akupun berusaha mengumpulkannya lagi. Kemanapun awan pergi aku akan berusaha mengejarnya, aku butuh teduhnya.  Entah mungkin aku ini bukanlah seeorang yang pantas untuk diteduhinya. Aku merasa tak bernilai. Bahkan ketika aku berjuang pun mungkin aku tidak terlihat

Tapi, dia sering menghujani ku bok. Aku terjerembab dibawah hujannya. Terlalu dingin. Entah mungkin aku ini benar benar tidak terlihat atau memang dia tidak tahu ada aku yang berteduh dibawahnya. Aku takut. Aku ini sendiri berdiri dibawahnya. Padahal dia tempat satu satunya aku berteduh di tempat yang tidak aku sukuai ini. Entah kemana lagi aku akan berpegang. Pernah, aku sengaja menghilang. Tapi dia tidak mencariku bok, bukannya aku berharap dicari olehnya. Tapi aku ingin menjadi seseorang yang terlihat. Aku letih bersembunyi dibawahnya.

Mungkin memang aku yang berharap lebih. Aku akan terus menjadi sosok yang tidak terlihat. Aku putuskan untuk pergi saja bok, tapi tidak sepenuhnya pergi. Aku akan berusaha ada ketika dia membutuhkanku, itu juga "jika" dia membutuhkanku. Dia tau harus kemana untuk mencariku. Mungkin aku bukan pergi, hanya berdiam, ditempat ketika dia menghujaniku.


Kamis, 02 Mei 2013

Untitled XVIII

Biru, bagaimana perjalananmu ? Apa kau sudah jenuh ? Kita ini seperti lomba lari, sama sama berlari menuju garis finish. Hanya saja garis finish ku sepertinya tidak ada. Aku takut kau tersandung, terkadang kau lupa caranya berlari lagi. Aku pernah bermimpi, aku berdetak bersamamu. Aku ingin lebih dari sekedar mimpi. Malam itu terlalu cepat, kau berlari tanpa henti, aku terengah mengejarmu. Kau merasa terlalu sakit ? Lalu aku bagaimana ?

Rabu, 17 April 2013

Homesick

Lately, gue ngerasain hal hal yang bener bener aneh. Ga aneh juga sih, tapi ya gitu ganjil. Pernah ga sih ngalamin lo jauh banget dari "rumah" tapi lo berasa bener bener lagi dirumah. Atau jangan jangan homesick gue bertambah parah ? hmmm bisa jadi. Tapi ini udah hari ke lima gue ngerasain kaya gini. Bener bener kangen "rumah" bukan sekedar rumahnya doang. Kangen tinggal sama keluarga, kangen rasanya ngerasain bener bener pulang kerumah, bukan kosan atau kontrakan atau rumah uak. Kangen ngerasain pulang kerumah ga boleh kemaleman, kangen dianterin papa ke sekolah, kangen salim sama orang tua kalo pergi ke sekolah, kangen dikasih uang jajan langsung, kangen ngejailin ade, kangen sama suasana komplek, kangen masakan mama, kangen makan malem diluar sama keluarga, kangen jalan jalan sama keluarga. Walaupun kadang kadang suka pulang kerumah, tapi udah beda. Udah ga kaya dulu.

Mungkin gara gara homesick belakangan ini gue jadi sering ngerasa kaya lagi di"rumah". Bahkan jadi sering keinget moment moment dulu, ada beberapa yang sempet gue lupa jadi inget lagi. Bukan cuma sekedar inget, tapi jadi lebih berasa kaya ngalaminnya lagi. Apalagi kalo liat temen yang sering bolak balik kerumah. Benci ngeliatnya. Bentar bentar pulang, manja. Tapi entah benci atau iri beda tipis. Benci juga ngeliat keluarga atau orang tua yang terlalu manjain anaknya. Bentar bentar cemas anak nya kenapa-napa, bentar bentar nelfon, bentar bentar sms. Entah yang ini benci atau iri juga.

Ya allah, saya ingin pulang, mungkin kali ini saya bener bener udah cape. Saya takut. Saya mau pulang. Saya butuh keluarga, walaupun juga dirumah ga terlalu diperhatiin tapi saya masih ngerasa ada yang ngejagain.

Senin, 01 April 2013

Wings To Fly

Aku bosan dengan daya tarik gravitasi. Terlalu menarik kencang, terjerembab dalam tanah. Seperti akar yang beranak didalamnya. Sayang, aku ingin pergi. Aku menggapai-gapai mencari pegangan. Hampa. Aku hanya menggapai udara. Tak satupun yang dapat kuraih. Sayang, aku ingin pergi. Sesak, aku sudah terkubur terlalu dalam. Aku menggeliat, berusaha keluar. Ku dongakkan kepalaku, langit terlihat lebih bersahabat. Tidak ada unsur yang mengikat. Langit begitu luas. Sayang, aku ingin pergi.

Jika sekarang satu permohonanku dikabulkan, aku hanya berharap punya sayap. Aku tidak ingin menjejalkan kaki lagi. Aku tidak ingin berkutat dengan gravitasi. Aku ingin bebas. Sayap. Bawa aku ke angkasa. Aku ingin menjadi seperti angin, menari, melenggang kemanapun ia mau. Bahkan aku ingin sekaligus menjadi buta, aku tidak ingin tau ke arah mana aku akan berlalu. Aku ingin benar benar bebas. Menjadi kekasih semesta. No more sadness, no more pain. No more anger, no more hate. Just fly.

Aku sudah siap. Benar benar siap. Sayang, aku ingin pergi. Kepenatan ini memberikan ku bekal mental. Aku sudah muak berkemelut di bumi. Tunggu! Sayang ? aku bicara dengan siapa ? 

Sabtu, 09 Maret 2013

Untitled XVII

Biru. Kita ini sama. Tentu saja sama. Sama sama berwarna biru. Hanya saja kau samudera dan aku angkasa. Kamu begitu dalam. Ada hitam yang berlindung di palungmu. Aku tak sanggup membiaskan cahaya untuk melihatnya. Kadang ku kirimkan angin untuk mengaduk lautmu, tapi tak bisa biru. Kau tak bergeming. Baru kali ini aku tidak bisa membaca. Terkadang aku hampir melihat pekat mu. Tapi aku salah. Kau cuma memantulkan apa yang aku inginkan. Aku lupa, kau adalah samudera, cermin terbesar dunia. Kau hanya merefleksikan gerak ku. 

Biru. Aku mengirimkan pesan melalui hujanku. Tapi kau tak bergeming. Hanya menimbulkan riak riak kecil pada permukaanmu. Bahkan kau mengembalikannya. Hanya hujan cara kita berkomunikasi. Kau menampungnya, tapi tidak membacanya.

Ada kala dimana semua hening. Tak ada awan didiriku. Kau pun tidak menimbulkan ombak. Kita terlarut dalam badai serotonin. Bahasa kita melebur, menjadi senyap. Kita tampak seperti satu. Ah tapi tak mungkin biru. Jika aku si angkasa menyatu denganmu, mau jadi apa ? kiamat ?