Pages

Senin, 28 November 2011

Bangku taman

Blur. Pandangan yang kulihat ketika baru membuka mata. Cahaya yang membias menerobos jendela, membuat mataku silau. Aku masih terbungkus selimut, masih enggan untuk bangun. Masih ingin membenamkan kepala di bantal yang empuk. Aku masih belum bisa melihat dengan jelas, ku usap mataku untuk memfokuskan objek yang kulihat. Santai. Tak ada hal lain yang ingin kulakukan, kecuali tetap berdiam ditempat tidur. Aku menggeliat, meliuk liuk seperti ular didalam karung. Rasanya aku malas sekali untuk memulai aktivitas.
Akhirnya, aku duduk ditepi ranjang. Menatap keluar jendela. Semburat jingga berpendar menghabiskan gelap. Entahlah, pagi ini begitu menenangkan. Belum pernah aku mengalami momentum seperti ini. Aku berjalan, membuka jendela. Udara pagi langsung menerpa wajahku, segera aku menghirup oksigen sebanyak mungkin. Hingga membuat dadaku kembung. Suara jalanan belum terlalu ramai. Mungkin saja orang lain sama sepertiku, malas untuk beraktivitas.
Pagi hari. Matahari pagi. Udara pagi. Tenang. Ah, pagi yang terlalu damai. Taman rumahku cukup luas, ditumbuhi rumput rumput hijau yang basah dan mencuat. Embun masih terlihat jelas disela sela rerumputan. Terasa kosong. Hanya ada lampu dan bangku taman yang mematung diluar sana. Pohon pohon menjulang, begitu ringkih. Hari ini semua hanya separuh nyawa. Mataku terfokus pada bangku taman.
Kupejamkan mataku. Sedalam mungkin untuk mencoba menyingkap semua klise. Otakku mulai berpacu, mencari memori memori bangku taman itu. Jalannya berliku, susah untuk dicari. Tertutup kabut, pandangan terlalu tertabatas untuk melihat. Ada yang menghalangi. Perasaan itu begitu kuat. Semakin kuat menerobos, hingga penghalangpun terbuyar tak berbekas. Memoar itu mulai terngiang. Sulur sulur perasaan mulai kurasakan. Menyedihkan. Karena itu ada pembatas yang menghalangi kotak memoriku. Aku mulai meracau dalam hening.
Otot ototku terasa tegang, keringat dingin mulai mengucur dari seluruh tubuhku. Aku berpegangan pada tirai. Tanganku mencengkram kuat. Tubuhku mulai goyah, beberapa kali hampir rubuh. Tapi aku masih berpegangan kuat. Mataku masih tetap terpejam, suara bising menggema didalam kepala. Aku merasa seperti berputar putar. Jantung bekerja terlalu cepat, memompa darah berlebihan, aku tak kuasa menahannya. Detaknya pun semakin cepat. Dag . . dig. . dug.. dag.. dig dug dagdigdugdagdigdugdagidigdug. . . . .

Semua buyar diterpa putih, terlalu terang untuk dilihat. Perlahan aku mencoba membuka mata. Ingin memastikan, bahwa aku masih berada dikamar. Aku masih ditempat yang sama, berdiri didepan jendela. Bingung dengan apa yang terjadi. Kemudian aku duduk ditepi jendela, masih memandangi keluar. Kini aku duduk memeluk lutut, meletakkan daguku diatasnya. Tiba tiba saja kepala ini terasa berat. Saat itu, pemandangan menjadi aneh. Aku hanya melihat sepia. Semua tertutup kabut. Tak ada warna. Suara pun tak terdengar, semua seperti bungkam.
Perlahan kabut mulai turun, mulai menampakkan objek objek yang ada di taman. Mataku langsung tertuju pada bangku taman. Dua anak lelaki sedang tertawa terpingkal pingkal dibangku itu. Mereka sedang memperbincangkan sesuatu yang sangat seru. Aku mencoba untuk mendengarkannya, tapi percuma. Tak ada suara. Sama sekali.
Dua anak lelaki. Yang satu berpakaian aneh, memakai blazer tua yang usang dengan celana pendek. Ia mengenakan topi, semacam topi baret miring kesamping. Walaupun kecil, wajahnya terlihat dewasa. Seperti ada gurat gurat pemikiran yang berat. Wajahnya begitu polos, kaku. Sorot matanya tajam. Dan yang satu lagi
“Itu ? Itu aku ? Bagaimana mungkin ? Kenapa ini ? Aku tidak bisa bersuara ! Ah, aku ingat. Itu aku dan Nick. He is the best friend i ever had.
Ku coba untuk berteriak, namun tercekat. Beberapa kali kucoba, tapi semuanya nihil. Tak ada hasil, aku tak berhasil mengeluarkan suara. Aku semakin bingung, bagaimana bisa aku melihat aku yang satu lagi dalam sosok kecil seperti itu. Lalu, aku ini siapa ? Atau dia yang siapa ? Aku mulai membentuk sebuah pola dalam kepala, berkutat tentang imaji yang mengalir. Ah, mungkin saja. Kotak memori itu terbuka.
Aku kembali mengingat gambaran yang aku saksikan. Ya, aku mulai mengingatnya. Saat itu kami memperbincangkan tentang guru yang mengajar dirumahku. Dulu, aku berbeda dengan anak anak lain. Mereka belajar disekolah, sedangkan aku belajar dirumah. Entah apa yang membuatku berbeda, aku rasa, aku sama saja dengan yang lainnya. Hanya saja aku lebih pucat dari anak lainnya, lebih lemah, ya begitulah. Guru ku bernama Ms. Alena. Seorang perempuan jangkung, kurus dengan kulit yang putih pucat. Wajahnya lumayan cantik. Tapi sikapnya yang jutek dan tidak ramah, membuat kami jengkel dengan dia. Kami sering mengerjainya dan membuat nya menjadi satu bahan lelucon. Dia juga sering melontarkan kata kata yang aneh. Sering bertindak konyol. Hingga kami menganggapnya sinting. Mungkin itu yang membuatnya belum menikah. Dia sering mengajak kami bereksperimen yang tidak jelas, seperti menciptakan api, menciptakan bahan peledak, dan hal berbahaya lainnya. Bahkan beberapa eksperimen yang kami lakukan, hampir membakar dapur mommy.
Kami sering menjahili Ms. Alena. Aku ingat kenakalan yang paling tidak bisa dilupakan, yang membuat kami tertawa terpingkal pingkal dibangku taman. Hari itu, kami sudah membuat suatu misi yang besar. Sama seperti seorang jenderal yang memimpin pasukannya. Perlu kalian ketahui, aku ini anak yang sakitan. Lemah. Apalagi badanku yang kurus, membuat aku terlihat tidak lebih dari ranting pohon. Begitu rapuh. So, semua keinginanku selalu dikabulkan oleh orang lain. Jadi, aku memanfaatkan kelemahanku dalam misi ini.
Pagi itu, sekitar jam delapan. Ms Alena sudah berdiri didepan itu. Aku dan Nick berlari membukakan pintu, kami berpura pura memasang tampang manis menyambut kedatangan dia. Ms Alena memicingkan matanya yang tajam kepada kami.
“Jangan memasang tampang seperti itu ulat bulu ! Cepat kita selesaikan satu hari yang menjijikan ini. Aku tidak suka tampang cengengesan kamu.”
Mengerti kan,kenapa kami menganggapnya sinting ? Dia suka berkata aneh. Kami ini manusia, kenapa dia memanggil ulat bulu ? Dan dia selalu saja berkata “kamu” memberikan perintah dengan seruan “kamu” tidak pernah dengan ucapan “kalian”. Mungkin dia tidak pandai berhitung. Tapi misi harus tetap berjalan. Hari ini, kami mengajak Ms Alena bereksperimen lagi. Kami mengajaknya membuat pesawat dari kertas dan lidi. Ya, tentu saja eksperimen pesawat itu bagian dari rencana. Dia mulai mengajarkannya cara membuat pesawat sederhana dan bisa diterbangkan. Walaupun hanya beberapa meter dari atas tanah. Misi satu berhasil.
Kemudian kami mengajaknya keluar, untuk menerbangkan pesawat lebih tinggi lagi. Kami berdiri didekat pohon. Saat itu angin lumayan berderu, sesuai perkiraan dibulan november ini. Kami mulai menerbangkannya. Tepat sekali, semua berjalan sesuai dugaan. Pesawat melayang keatas hingga mendarat dicabang pohon yang cukup tinggi. Kami sudah menyiapkan tangga dibawah pohon, agar bisa dipanjat. Tentu saja kami membutuhkan bantuan orang dewasa untuk meletakkan tangga itu disana. Kemarin aku meminta daddy untuk menaruhnya, dengan alasan aku ingin membuat rumah pohon dipuncaknya. Alasan yang bodoh dan tidak masuk akal. Sengaja aku berkata begitu. Karena aku tau, orang dewasa tidak akan mempercayainya, sehingga daddy pasti akan menuruti keinginanku.
Ms Alena, pesawatku tersangkut dipohon. Maukah kau mengambilkannya ?” ujarku dengan lirih. Nick hanya melihat dengan menahan tawa.
Bedebah. Ini yang menyebabkan aku tidak suka dengan anak kecil. Kalian itu monster yang masih berbentuk telur yang nantinya akan menetas sebagai penghancur bumi”
please, i swear i don't do this again”

Ms Alena pun mulai menaiki tangga. Ia terlihat ketakutan, tampaknya ia tidak pernah memanjat sebelumnya. Perlahan, dengan kaki gemetar. Ia menaiki anak tangga satu persatu. Lama untuk dia bisa menggapai pesawat yang tersangkut. Akhirnya ia bisa mendapatkannya. Tapi terlambat, aku dan nick sudah mendorong jatuh tangga itu. Mudah saja, tangga tersebut berdiri tidak seimbang. Anak kecil manapun pasti bisa menjatuhkannya. Ms Alena terperanjat menyaksikan kami melakukan hal itu. Ia berteriak dan memaki kami.
Hei kalian monster dungu, bisul yang penuh dengan nanah ! Kadal air yang penuh lendir !! kembalikan tangga itu ! Aku tidak bisa turun bodoh !! Lihat saja nanti kalu aku sudah turun, akan aku lempar kalian ke tong sampah !” ia terus saja meracau, sementara aku dan nick tertawa terpingkal pingkal. Sampai sampai air mataku menetes disudut mata. Kami tertawa sambil memegangi perut. Tidak tahan menahan geli menyaksikan momen yang begitu menyenangkan.
Nah, satu misi sudah terlaksanakan. Sekarang saatnya menikmtai kemenangan. Hari sudah semakin sore. Kami merayakannya dengan segelas coklat panas. Coklat itu berbusa diatasnya. Sore itu aku senang sekali. Tertawa bersama nick, he's my best friend. I can share my whole life with him. Kami menyesap coklat panas perlahan lahan. Sambil mendengarkan ocehan perempuan sinting diatas pohon. Kami menunggu daddy pulang, untuk membantu Ms Alena turun. Aku tahu, pasti kami akan dihukum. Tapi daddy tidak pernah menghukumku. Kami melewati senja dengan kemenangan dan secangkir coklat panas.
Aku yang sudah dewasa, hanya bisa termangu menyaksikan semuanya. Yah, semuanya berlalu. Masa masa kecil yang begitu menyenangkan. Ada satu hal yang paling menyedihkan yang harus kau ketahui tentang nick. Dia temanku satu satunya didunia ini. Aku tidak pernah kelaur rumah, cuma dia yang menemaniku. Terkadang, aku kasian melihat dia selalu memakai baju yang sama setiap harinya.
Aku ingat. Malam itu, aku jatuh sakit. Badanku panas. Aku tidak bisa tidur semalaman. Aku bosan, dikamar sendirian. Lalu, suara ketukan dijendela membuatku terkejut. Itu nick. Ia menjengukku. Finally, i have a friend for this borred night. Aku segera membuka jendela.
Hey, apakah kau masih sakit ?”
entahlah, aku merasa baik baik saja. Malah aku sakit jika terus terusan berdiam dikamar tanpa aktivitas haha.”
let's go out with me. I need to talk with you”
ok, just for a minute” aku segera berlari mengambil mantelku yang tebal dan lompat melalu jendela. Kami duduk di bangkut taman. Ditemani lampu yang berpendar redup. Kami mengobol sepanjang malam. Memperbincangkan kehidupan, ya mungkin topik yang terlalu dewasa untuk anak kecil seperti kami. Kami mengingat kenakalan kenakalan yang kami lakukan terhadap Ms Alena. Sungguh obrolan yang menyenangkan. Hingga kami bertemu dengan satu topik yang membuatku terpaku. Perpisahan. Entah kenapa, Nick memberikan satu alsan yang aneh untuk pergi.
Sekarang, kau semakin bertumbuh. Kau sudah menjadi remaja. Aku tidak mungkin menemanimu lagi.”
Kau ini berbicara apa ? Kau juga semakin remaja kan ? Yah, walaupun badanmu tidak bertumbuh, hahaha. Ok, ini lelucon yang tidak lucu. Kau tidak serius kan ?”
Percayalah, aku mengatakan yang sejujurnya. Just let me go. Kau lebih membutuhkan teman yang realita. Kelak, kau tidak akan membutuhkanku lagi.”
Aneh. Aku tidak mengerti ucapanmu.”
Haha, aku sudah menduganya. Sekarang, aku benar benar harus pergi. Mungkin aku akan bertemu anak kecil lainnya yang membutuhkan seorang teman.”
Nah tuan pembohong, pergi saja jika kau mau. Aku tidak percaya”
Hei, i'm serious. Aku akan pergi. Jika nanti kau dewasa, aku akan tetap disini. Menjadi teman kecilmu. Selamat tinggal.”
Selamat tinggal. Dan sampai berjumpa besok”
Entah kenapa aku begitu bodoh. Dulu aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Aku kira dia hanya bercanda dan hanya ingin melihat tampangku yang sedih kehilangan teman. Ternyata aku salah. Sekarang akulah yang sinting. Membiarkan teman satu satunya yang ku punya pergi dan menghilang entah kemana.
Nick bangkit dari kursi. Ia berjalan kedepan pagar yang dikelilingin rumput pembatas setinggi 1 meter. Sebelum dia benar benar pergi. Ia melambaikan tangannya padaku dan tersenyum. Hanya sampai bagian itu yang kuingat. Selebihnya, aku terbangun dengan mengenakan mantel dan bertelanjang kaki dia bangku taman. Tampak seperti gelandangan.
Ah, memoar itu. Terulang kembali. Aku menyesap gambaran dua lelaki kecil dibangku taman itu. Sekarang, aku yang sudah dewasa. Hanya bisa mematung. Mengingat kembali semua kenangan itu. Aku mengantuk. Semua menjadi putih. Kenangan. Sepia. Semua bergaung dikepalaku. Menjejalkan ingatan ingatan yang begitu biru. Sekarang, taman itu begitu lirih. Menjadi taman kosong yang menjadi tempat persembunyian seribu cerita.



Selasa, 22 November 2011

Untitled XIV

Kematian ? dengernya aja udah serem, apalagi kalo mengalaminya -,-
kalo dari wikipedia mah :
Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan.

menyedihkan dan sangat menakutkan. bayangkan nyawa kita mulai terpisah dengan jasad. ga bakalan terbayang. kematian itu ga gampang, tapi banyak yang menginginkannya. entah kenapa, gue selalu mikir yang aneh aneh. mikirin yang sebenernya ga penting dipikirin. ya, mungkin karena emang gue nya yang aneh u,u

belakangan ini, bahkan udah sejak berapa bulan yang lalu, gue sering berpikir, kalo ge sebentar lagi. Ngerti kan ? ya, itu pikiran gila gue. Pikiran terlebay gue. Pernah bulan apa gue mikir kaya gitu, tapi alhamdulillah gue masih ada *thanks God. Berpikir tentang kematian ga cuma sekali, berulang kali dan feel nya dapet banget. Dan rasanya itu, susah dibayangkan. Sakit dan menyedihkan. Gue sering berasa kalo gue sebentar lagi. Mungkin Tuhan menegur gue. Semakin sering Tuhan menegur, semakin bodoh hidup gue. Ga pernah intropeksi, ga pernah berusaha lebih baik.

Dan sekarang, pikiran itu balik lagi. Sekarang lebih kuat.
Pagi hari, ya mungkin sedikit gerimis. Dikamar kecil sumpek berwarna merah, ada yang masih tertidur. Tunggu. Dia benar benar tertidur. Menyedihkan. Dirumah kecil itu tidak ada siapa siapa, cuma dia. Mungkin, butuh waktu lama untuk orang orang menyadarinya, sampai keluarga terdekat mendobrak pintu dan menemukannya. Terlambat, mungkin dia sudah sangat kaku. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana ekspresi keluarga kandung yang jauh dipulau seberang. Sesampainya dirumah itu, mungkin orang tuanya pingsan atau entahlah, semacamnya.

Keluarga ? sudah pasti. Mereka berbeda, mereka itu memang benar benar satu. terikat. Sahabat ? disini letak perbedaanya. Mungkin kau akan tau, mana yang benar benar sahabat. Ketika itu, semua percuma. Tangis pun menjadi suatu omong besar yang menjijikan. Kalau selama ini memang tidak menganggap, tidak perlu mengeluarkan air mata.munafik. Tangis hanya untuk tradisi ditempat orang meninggal, lalu ?

ya, setelah itu semua selesai. kembali ke realita. seperti tidak pernah terjadi apa apa. begitulah. dianggap seperti tanaman hias diatas meja. there's no me anymore.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hahaha, gimana ? lebay kan ? pake banget. tapi gue ga ngarang loh -,- emang gue ngerasa begitu. bahkan gue susah buat ngebayangin masa depan kaya gimana. kayanya emang mentok. yasudahlah, tuhan sedang menegurku. Thanks God.