Aku bukan pedagang yang baik, tidak ada barang mahal
yang dapat ku tawarkan. Etalase ku pun sepi, tidak banyak yang bisa ku jajakan.
Tak ada pula kalimat-kalimat persuasi untuk meyakinkan. Aku tidak pernah
bertengkar dalam memberi harga, sering kali ku berikan saja lantas kau
menerima.
Aku bukan pedagang yang baik, tidak banyak yang ku
tawarkan. Terkadang sesederhana air putih, lucunya itu pun sering kau
pertanyakan. Ku tau lelah yang kau rasa, tapi tentu bukan itu jawabanku. Aku
malu, ku katakan saja jawaban kosong yang tidak akan mengundang tanya mu lagi.
Aku bukan pedagang yang baik, kadang kala ku jajakan
diri ini terang-terangan di depanmu. Aku mau menjadi telinga untuk menampung
semua keluhmu, menjadi mata yang selalu dapat melihat sisi baikmu meskipun kau
kelabu, atau bahkan sekedar menjadi pundak untuk persinggahanmu.
Mungkin aku bisa dikatakan pedagang yang baik, karena
aku tidak pernah menuntut terima kasih. Itupun tidak dapat membuat aku bangga,
sengaja ku tolak, karena aku malu. Daganganku ini tidak layak untuk dibandingkan
dengan semua yang selalu kau pamerkan di mukaku. Seketika aku gulung tikar.
Aku, masih, bukan pedagang yang baik. Kini tersisa dua
air putih, satu untuk kebodohanku, satu lagi untuk kau minum, kalau saja disana
kau lelah menertawakanku.